Superyouth 2! Scandinavia…Super Show for Super Music!
Superyouth 2! Scandinavia…Super Show for Super Music!
Oleh: Idham Saputra
Sebuah acara dengan konsep ‘small gig with low budget’ yang menghadirkan band-band yang mempersembahkan musik-musik dari negara-negara skandinavia macam Swedia, Islandia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark. Namun dengan konsep di atas ternyata acara ini mampu menyedot penonton yang begitu banyak. Berbagai kalangan menghadiri acara ini, terutama anak-anak muda yang terdiri dari para akademisi, peselancar dunia maya, pengutak-atik radio, peraba wanita, tengkulak, hingga hedon-hedon labil (meminjam istilah seorang teman); semua datang ke FX Music untuk satu tujuan: mencuci mata. Tidak, maksud saya menikmati dan mengapresiasi musik.
Penampilan pertama dimulai sekitar jam 5 sore oleh sebuah band yang luar biasa biasa bernama Mind Deer. Sekumpulan pemula yang pemalu ini membawakan lagu-lagu dari band Finlandia, Le Futur Pompiste yang kental akan indie pop Eropanya. Lalu setelah itu Satu naik panggung sebagai Saybia, yang berasal dari Denmark. Lagu-lagu seperti The Day After Tomorrow dan The Second You Sleep pun tak luput dibawakan. Kelar Satu turun, berikutnya adalah Break Magrib. Saya sendiri kurang begitu tahu band ini karena saya tidak menonton mereka.
Sekitar pukul 18.30 setelah break magrib (yang katanya sepi penampilannya), acara digeber lagi oleh The Firm yang berpura-pura menjadi Jens Lekman. Vokalis dengan suara berat agamis bak Ian Curtis dan pengikutnya alhasil berhasil membawakan lagu-lagu folkpop ala Jens Lekman. Selanjutnya White Collar Boys tampak tertekan sewaktu membawakan repertoar Sondre Lerche. Ditinggal personel lainnya dan hanya menyisakan satu orang dengan satu gitar di depan khalayak ramai bukanlah hal yang mudah, namun Sondre Lerche pun pasti akan menyemangatinya bila ia datang kemarin.
Setelah itu Simetri Lipat mengambil alih dan berperan sebagai salah satu band yang sudah pasti ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penonton disana, Mew. Dibuka oleh Circuitry Of The Wolf, kita segera tahu bahwa band ini memang qualified untuk membawakan repertoar band asal Denmark tersebut. Dan lagu-lagu berikutnya macam She Spider, Am I Wry? No, dan Apocalypso mampu membuat crowd meracau ria. Lalu Sparkle Afternoon menyeruak membawakan musik instrumental/postrock dari pg.lost. Benar-benar cukup membahana ditambah wanita manis memainkan glockenspiel yang manis pula. Lagu-lagu macam Kardussen dan Yes I Am mampu menciptakan suasana atmosferik sore itu.
Selanjutnya The Telegraph Reverb berpura-pura seperti The Radio Dept. Berbekal synth, laptop dan gitar mereka membawakan lagu-lagu seperti It’s Personal dan I Wanted You To Feel The Same dengan malasnya. Setelah bermalas-malasan datanglah sebuah band postrock ibukota yang tengah menanjak, Folkaholic as Immanu El. Malam itu mereka dibantu oleh vokalis Delay Monday dan beberapa additional player yang salah satunya sungguh membuat para lelaki menganga. Saya rasa penampilan terdahsyat adalah mereka. Bermain bersih dan mampu membuat titik-titik dimana kita terjebak dalam trance yang merasuk. Apalagi ketika lagu mereka, Missing Football Time dibawakan, sungguh memuncak dan crowd pun berdecak-decak.
Setelah Folkaholic, Funny Little Dream didaulat ke atas panggung sebagai duo dari Swedia, Club 8. Dengan vokalis manis bersuara khas grup-grup folkpop, FLD sukses membuat kita bergoyang dengan lagu-lagu macam Love In December dan Everlasting Love. Berikutnya Bonchie And Her Littletrees juga tak kalah menariknya membawakan repertoar The Cardigans. Vokalis yang atraktif dan lagu-lagu asyik seperti Carnival, For What It’s Worth dan Rise and Shine mampu membuat penonton bernyanyi bersama. Sungguh tercipta sebuah keintiman disitu. Ditambah lagi setelah itu Flyafter naik sebagai duo yang baru saja datang ke Indonesia, Kings Of Convenience. Walaupun tidak se-upbeat Bonchie, namun tetap saja banyak yang ber-sing along ketika I’d Rather Dance With You dan Boat Behind dibawakan.
Lalu ada Vuje yang membawakan lagu-lagu lawas dari Roxette. Dengan konsep akustik minimalis mereka pun mampu mengundang decak kagum karena didukung pula oleh kualitas suara sang vokalis yang lembut dan indah. Berikutnya yang sudah pasti ditunggu-tunggu adalah L’Alphalpha, band yang tengah merampungkan EP-nya ini segera bertindak sebagai Sigur Ros. Berbekal personel yang banyak (benar-benar mengingatkan kita pada Sigur Ros dan Amiina-nya) dan alat yang niat pula, L’Aphalpha mampu tampil maksimal di Superyouth kemarin. Mereka membuka repertoar dengan Vaka yang syahdu, lalu Olsen-Olsen yang megah, dilanjutkan dengan lagu mereka sendiri yang diselipi hook dari Hopippola
dan akhirnya menutupnya dengan Festival. Dengan bermain maksimal seperti itu dan sepertinya masih kurang, lantas crowd pun seperti tak ingin L’Alphalpha beranjak. Setelah bernegosiasi akhirnya mereka melayani permintaan ‘encore’ penonton dengan membawakan lagu mereka sendiri yang tak kalah rancaknya.
Merasa bahwa L’Alphalpha sudah mencapai titik kepuasan para penonton, maka crowd pun berangsur-angsur pulang dan venue menyepi, padahal masih ada satu grup lagi bernama Denging yang akan tampil membawakan repertoar Royksopp, grup electropop dari Norwegia. Berbekal Macintosh, keyboard, firebox dan alat-alat perkusi, mereka menghentak lantai dansa dengan musik-musik techno yang upbeat. Penampilan penutup yang cocok untuk disambung ke Minus di lantai 2 bagi yang berniat untuk berdunia gemerlap.
Dan selesailah acara Superyouth 2! Scandinavia yang dahsyat ini. Para penonton dan panitia pasti bahagia dan berharap akan ada Superyouth 3 atau acara-acara lainnya yang mampu membuat kita para anak muda merasa bahwa sudah saatnya berkreasi itu tidak harus mahal dan serba ada.
Oleh: Idham Saputra
Sebuah acara dengan konsep ‘small gig with low budget’ yang menghadirkan band-band yang mempersembahkan musik-musik dari negara-negara skandinavia macam Swedia, Islandia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark. Namun dengan konsep di atas ternyata acara ini mampu menyedot penonton yang begitu banyak. Berbagai kalangan menghadiri acara ini, terutama anak-anak muda yang terdiri dari para akademisi, peselancar dunia maya, pengutak-atik radio, peraba wanita, tengkulak, hingga hedon-hedon labil (meminjam istilah seorang teman); semua datang ke FX Music untuk satu tujuan: mencuci mata. Tidak, maksud saya menikmati dan mengapresiasi musik.
Penampilan pertama dimulai sekitar jam 5 sore oleh sebuah band yang luar biasa biasa bernama Mind Deer. Sekumpulan pemula yang pemalu ini membawakan lagu-lagu dari band Finlandia, Le Futur Pompiste yang kental akan indie pop Eropanya. Lalu setelah itu Satu naik panggung sebagai Saybia, yang berasal dari Denmark. Lagu-lagu seperti The Day After Tomorrow dan The Second You Sleep pun tak luput dibawakan. Kelar Satu turun, berikutnya adalah Break Magrib. Saya sendiri kurang begitu tahu band ini karena saya tidak menonton mereka.
Sekitar pukul 18.30 setelah break magrib (yang katanya sepi penampilannya), acara digeber lagi oleh The Firm yang berpura-pura menjadi Jens Lekman. Vokalis dengan suara berat agamis bak Ian Curtis dan pengikutnya alhasil berhasil membawakan lagu-lagu folkpop ala Jens Lekman. Selanjutnya White Collar Boys tampak tertekan sewaktu membawakan repertoar Sondre Lerche. Ditinggal personel lainnya dan hanya menyisakan satu orang dengan satu gitar di depan khalayak ramai bukanlah hal yang mudah, namun Sondre Lerche pun pasti akan menyemangatinya bila ia datang kemarin.
Setelah itu Simetri Lipat mengambil alih dan berperan sebagai salah satu band yang sudah pasti ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penonton disana, Mew. Dibuka oleh Circuitry Of The Wolf, kita segera tahu bahwa band ini memang qualified untuk membawakan repertoar band asal Denmark tersebut. Dan lagu-lagu berikutnya macam She Spider, Am I Wry? No, dan Apocalypso mampu membuat crowd meracau ria. Lalu Sparkle Afternoon menyeruak membawakan musik instrumental/postrock dari pg.lost. Benar-benar cukup membahana ditambah wanita manis memainkan glockenspiel yang manis pula. Lagu-lagu macam Kardussen dan Yes I Am mampu menciptakan suasana atmosferik sore itu.
Selanjutnya The Telegraph Reverb berpura-pura seperti The Radio Dept. Berbekal synth, laptop dan gitar mereka membawakan lagu-lagu seperti It’s Personal dan I Wanted You To Feel The Same dengan malasnya. Setelah bermalas-malasan datanglah sebuah band postrock ibukota yang tengah menanjak, Folkaholic as Immanu El. Malam itu mereka dibantu oleh vokalis Delay Monday dan beberapa additional player yang salah satunya sungguh membuat para lelaki menganga. Saya rasa penampilan terdahsyat adalah mereka. Bermain bersih dan mampu membuat titik-titik dimana kita terjebak dalam trance yang merasuk. Apalagi ketika lagu mereka, Missing Football Time dibawakan, sungguh memuncak dan crowd pun berdecak-decak.
Setelah Folkaholic, Funny Little Dream didaulat ke atas panggung sebagai duo dari Swedia, Club 8. Dengan vokalis manis bersuara khas grup-grup folkpop, FLD sukses membuat kita bergoyang dengan lagu-lagu macam Love In December dan Everlasting Love. Berikutnya Bonchie And Her Littletrees juga tak kalah menariknya membawakan repertoar The Cardigans. Vokalis yang atraktif dan lagu-lagu asyik seperti Carnival, For What It’s Worth dan Rise and Shine mampu membuat penonton bernyanyi bersama. Sungguh tercipta sebuah keintiman disitu. Ditambah lagi setelah itu Flyafter naik sebagai duo yang baru saja datang ke Indonesia, Kings Of Convenience. Walaupun tidak se-upbeat Bonchie, namun tetap saja banyak yang ber-sing along ketika I’d Rather Dance With You dan Boat Behind dibawakan.
Lalu ada Vuje yang membawakan lagu-lagu lawas dari Roxette. Dengan konsep akustik minimalis mereka pun mampu mengundang decak kagum karena didukung pula oleh kualitas suara sang vokalis yang lembut dan indah. Berikutnya yang sudah pasti ditunggu-tunggu adalah L’Alphalpha, band yang tengah merampungkan EP-nya ini segera bertindak sebagai Sigur Ros. Berbekal personel yang banyak (benar-benar mengingatkan kita pada Sigur Ros dan Amiina-nya) dan alat yang niat pula, L’Aphalpha mampu tampil maksimal di Superyouth kemarin. Mereka membuka repertoar dengan Vaka yang syahdu, lalu Olsen-Olsen yang megah, dilanjutkan dengan lagu mereka sendiri yang diselipi hook dari Hopippola
dan akhirnya menutupnya dengan Festival. Dengan bermain maksimal seperti itu dan sepertinya masih kurang, lantas crowd pun seperti tak ingin L’Alphalpha beranjak. Setelah bernegosiasi akhirnya mereka melayani permintaan ‘encore’ penonton dengan membawakan lagu mereka sendiri yang tak kalah rancaknya.
Merasa bahwa L’Alphalpha sudah mencapai titik kepuasan para penonton, maka crowd pun berangsur-angsur pulang dan venue menyepi, padahal masih ada satu grup lagi bernama Denging yang akan tampil membawakan repertoar Royksopp, grup electropop dari Norwegia. Berbekal Macintosh, keyboard, firebox dan alat-alat perkusi, mereka menghentak lantai dansa dengan musik-musik techno yang upbeat. Penampilan penutup yang cocok untuk disambung ke Minus di lantai 2 bagi yang berniat untuk berdunia gemerlap.
Dan selesailah acara Superyouth 2! Scandinavia yang dahsyat ini. Para penonton dan panitia pasti bahagia dan berharap akan ada Superyouth 3 atau acara-acara lainnya yang mampu membuat kita para anak muda merasa bahwa sudah saatnya berkreasi itu tidak harus mahal dan serba ada.
Hahay!
ReplyDeletemantaffffffffffffff...
ReplyDelete